Sunday 9 July 2017

Apakah Forex Termasuk Riba


Pertanyaan: Assalamu8217alaikum wr. Wb Saya saat ini bekerja pada salah satu bank swasta nasional (konvesional). Total masa kerja saya 177 14 tahun di bidang perbankan (merskipun bukan pada satu institusi). Pada suatu malam di bulan Ramadhan 1427 yang lalu saya mengikuti ceramah tarawih dengan materi tentang Ekonomi syariah. Sejak itu sampai sekarang saya selalu gelisah apabila mengingat salah satu inti ceramah itu yang menyebutkan bhwa bunga Banco adalah termasuk Riba yang dilarang por Allah Swt. Saya saat ini telah berencana untuk berpindah pekerjaan ke sektor não perbankan karena saya takut apabila bunga Banco benar termasuk Riba, maka alangklah dosanya saya karena selama ini telah memberikan kepada istri anak dan Keluarga saya rezeki yang tidak halal meskipun setiap kali berangkat bekerja saya selalu meniatkan beribdah Memenuhi kewajiban saya sebagai keluarga untuk mencari rezeki yang halalan thoyiban. Billahi taufiq wal hidayah. Wassalamu8217alaikum wr. Wb Yon (xxxyahoo) Oleh. Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM Sabda Rasululullah SAW, 8220Akan datang kepada umat ini suatu masa nanti ketika orang-orang menghalalkan riba dengan alasan: aspek perdagangan8221 (HR Ibnu Bathah, al., Al 8216Auzai). Pengantar Dalam kehidupan kaum Muslim yang semakin sulit ini, memang ada yang tidak memperdulikan lagi masalah halal dan haramnya bunga bank. Bahkan ada pendapat yang terang-terangan menghalalkannya. Ini dikarenakan keterlibatan kaum Muslim dalam sistem kehidupan Sekularisme-Kapitalisme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme. Bagi yang masih berpegang teguh kepada hukum Syariat Islam, maka berusaha agar kehidupannya berdiri di atas keadaan yang bersih dan halal. Namun karena umat pada masa sekarang adalah umat yang lemah, bodoh, dan tidak mampu membeda-bedakan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya, maka mereka saat ini menjadi golongan yang paling bingung, diombang-ambing oleh berbagai pendapat dan pemikiran. Dalam tulisan yang singkat ini, ada beberapa aspek yang ingin diketengahkan tentang seputar masalah riba: Pertama, bunga riba dalam tinjauan sejarah. Akan dijelaskan secara singkat peran Bani Israil dan tingkah laku mereka dalam masalah riba. Kedua, diketengahkan kelakuan orang-orang Yahudi dalam mengubah syariatnya sendiri (Hukum Allah SWT). Secara singkat akan dipaparkan peran kaum Yahudi dalam menghalalkan riba. Ketiga, masih dalam kerangka tingkah laku kaum Yahudi, diceritakan juga serba sedikit usaha-usaha mereka dalam membangun jaringan kehidupan dalam bidang ekonomi dan keuangan dunia, khususnya dalam bidang moneter dan perbankan. Keempat, mengetengahkan bagaimana bank pada awalnya berdiri, serta keterlibatan umat Islam Indonésia dalam masalah perbankan pada dekade awal abad XX sampai sekarang. Kelima, mengetengahkan usaha-usaha para tokoh masyarakat islam (intelektual dan kaum modernis) dalam menghalalkan riba (bunga) banco. Keenam, mengetengahkan hukum riba yang tetap haram sampai Hari Kiamat. Riba dan Yahudi dalam Tinjauan Sejarah Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah abadi dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam syariat Nabi Musa como, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad viu. Tentang hal tersebut, Al Qur-aan telah mengabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam dan amoral mera, termasuk di dalamnya perbuatan memakan harta riba. Firman Allah SWT: 82208230.disebabkan oleh kezhaliman orang-orang Yahudi, maka Kami telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka dan (juga) karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah Serta disebabkan mereka memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakannya, dan mereka memakan harta dengan jalan yang bathil (seperti memakan uang sogok, merampas harta orang yang lemah. Kemudian) Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih8221 (QS An Nisaa8217. 160 -161). Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala cara menghalangi manusia untuk tidak melaksanakan syariat Allah SWT. Mereka membunuh para nabi, berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja yang telah diharamkan Allah SWT, misalnya menghalalkan hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan adanya praktek sihir, menghalalkan riba sehingga terkenallah dari dahulu sampai sekarang bahwa antara Yahudi dengan Perbuatan riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya antara riba dengan gerak kehidupan kaum Yahudi, kita dapat mengetahuinya di dalam kitab suci mereka: 8220Jikalau kamu memberikan pinjaman uang kepada umatku, yaitu kepada orang-orang miskin yang ada di antara kamu, maka janganlah kamu menjadikan baginya sebagai orang penagih hutang yang keras , Dan janganlah mengambil bunga daripadanya8221 (Keluaran, 22:25). Dalam kitab Imamat (orang Lewi), tersebut pula larangan yang senada. Pada kitab tersebut disebutkan agar orang-orang Yahudi tidak mengambil riba dari kalangan kaumnya sendiri: 8220Maka jikalau saudaramu telah menjadi miskin dan tangannya gemetar besertamu 8230. maka janganlah kamu mengambil daripadanya bunga dan laba yang terlalu (besar) 82308230 jangan kamu memberikan uangmu kepadanya dengan memakai Bunga 8230..8221 (Imamat 35-37). Jelaslah di dalam ayat-ayat tersebut bahwa orang-orang Yahudi telah dilarang memakan riba (bunga). Namun dalam kenyataannya, mereka membangkang e mengabaikan larangan tersebut. Mengapa mereka demikian berani melanggar ketentuan hukum Taurat itu Dalam hal ini, Buya Hamka (alm) mengutip dari buku Taurat pada kitab Ulangan pasal 23 ae 20: 8220Maka dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba). Tetapi dari saudaramu, maka tidak boleh kamu mengambilnya supaya diberkahi Tuhan Allahmu, agar kamu dalam segala perkara tanganmu mampu memegang negeri, (seperti) yang kamu tuju (cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu) mengambilnya sebagai bagian dari harta pusakamu8221. Berdasarkan kutipan di atas, Buya Hamka menarik kesimpulan bahwa ayat tersebut telah menjadi pegangan kaum Yahudi sedunia sampai sekarang. Mereka, biarpun tidak duduk pada kursi pemerintahan de suatu negeri, tetapi merekalah yang justru menguasai pemerintahan negeri tersebut melalui bentuk pinjaman ribawi (membungakan uangnya) yang menjerat leher. Yahudi dan Penguasaan Moneter Internasional Dalam sebuah penggalan naskah Protokolat, yaitu berupa strategi jahat Yahudi, disebutkan bahwa kebangkrutan berbagai negara di bidang ekonomi adalah hasil kreasi gemilang mereka, misalnya dengan kredit (pinjaman) yang menjerat leher negara não-Yahudi yang makin lama makin terasa sakit . Mereka katakan bahwa bantuan luar negeri yang telah dilakukan boleh Dika173takan laksana seonggok benalu yang mencerap habis segenap potensi perekonomian negara tersebut. Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil menguasai sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang perbankan. Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat keuangan di Wallstreet (Nova York). Tempat ini merupakan pangsa bursa (uang) terbesar di dunia. Sirkulasi keuangan di Amerika Serikat telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi sejak awal abad XX sampai sekarang. Di samping itu, mereka juga menguasai bidang-bidang industri (yang umumnya dibutuhkan oleh orang banyak), perdagangan internasional (dalam bentuk perusahaan-perusahaan raksasa), yang tersebar di seluruh Amerika, Eropa dan negeri-negeri di Asia e Afrika. Sebagai misal, di Amerika, orang-orang Yahudi menguasai perusahaan General Electric, Fairstone, Standard Oil, Texas dan Mobil Oil. Dalam perdagangan valuta asing, maka setiap 10 orang intermediário, sembilan di antaranya adalah orang-orang yahudi. Di Perancis, sebagian saham yang tersebar de berbagai bidang kehidupan adalah milik orang-orang Yahudi. Dalam menghancurkan moral di suatu negeri, orang-orang Yahudi dan antek-anteknya ikut andil misalnya mengelola usaha Kasino, Nigth Club, atau perdagangan obat bius. Umat ​​Islam Indonésia dan Perbankan Sistem perbankan telah muncul di dunia Islão sejak kedatangan penjajah Barat menyerbu ke berbagai negeri Islam. Di negeri-negeri jajahannya, merozkan sistem ekonomi Kapitalisme yang bertumpu kepada sistem perbankan (riba). Di Indonésia muncul bank pertama, yaitu Banco Priyayi, em 1846 di Purwokerto, dengan pendiri173nya Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja dari kalangan keraton. Kemudian secara meluas de berbagai daerah, Berdiri Bank Rakyat (Volksbank) antara lain di Garut (1898), Sumatera Barat (1899), dan Menado (1899). Dalam menanamkan sistem perbankan ini, penjajah Belanda mendirikan Sentral Kas, em 1912, yang berfungsi sebagai pusat keuangan. Dari kalangan intelektual, didirikanlah Indonesische Studie Club di Surabaya em 1929. Kemudian Belanda, dalam menyuburkan sistem riba, mendirikan Algemene Volkscredit Bank (AVB), 1928. Pada tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah Belanda, Indonésia, didirikanlah Yayasan Pusat Bank, Indonésia, 1945 , Yang menjadi cikal bakal Bank Indonésia sekaligus memberikan rekomendasi pendirian banco-banco yang ada. Melalui PP No. 1, ano 1946, lahirlah Bank Rakyat Indonésia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul berdirinya Banco Negara Indonésia (BNI) 1946. Kemudian jumlah bank semakin bertambah banyak. Di antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952), Bank Bumi Daya (BBD, 19 Agustus, 1959). Banco Pembangunan Industri (BPI, 1960), Banco Dagang Negara (BDN, 2 de abril de 1960), Bank Export-Import Indonésia (Bank Exim) yang dinasionalisasikan pada 30 de dezembro de 1960. Pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang, dunia perbankan tumbuh seperti jamur di Musim hujan. Secara garis besar, dunia perbankan de Indonésia, no entanto, banco de banco yang menjadi Badan Usaha Milik NegaraBUMN (misalnya BNI 1946, BRI, BDN) e banco-banco milik swasta. Untuk yang pertama, jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi untuk yang kedua, i terbagi ke dalam tiki kategori yaitu swasta asli Indonésia (misalnya Banco Susila Bakti, Banco Arta Pusara, Banco Umum Majapahit), banco de fusão swasta luar (banco maldito Lippo, BCA, Bank Summa), dan bank luar tulen ( Misalnya Chase Manhattan, Deutsche Bank, Hongkong Bank, Bank of America). Untuk melihat perkembangan perbankan di Indonesia, saat ini telah dibangun sejumlah 2652 banco (tidak termasuk BRI dan BRI Unit Desanya). Menurut standard Amerika ditilik dari jumlah penduduk Indonésia, maka negeri ini masih memerlukan 7800 banco lagi. Sistem Perbankan dan Organisasi Keagamaan Sebelum 1990 - um Islam islamismo belum terlibat langsung. Sistem ini sejak dahulu hanya diminati oleh kalangan konglomerat. Namun sejak diadakan penandatangan kerja sama antara Banco Summa dengan Organisasi keagamaan NU tanggal 2 de junho de 1990, maka umat Islam Indonésia telah mulai dilibatkan langsung dalam praktek perbankan. Dalam perjanjian kerjasama tersebut telah disepakati untuk didirikan sebanyak 2000 buah Banco Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonésia. Namun sebelumnya BPR telah berdiri tanggal 25 de fevereiro de 1990. BPR ini memberikan pinjaman kredit sebesar antara 100.000 sampai 500.000 rupiah dengan bunga 2,25 por bulan, untuk pengusaha pedagang kecil, petani, dan untuk umum kredit tersebut berkisar antara 25 sampai 200 juta rupiah. Rencana NU untuk mendirikan BPR sesungguhnya bukan masalah baru lagi. Ide itu telah ada dan dibahas berulang-ulang dalam berbagai kesempatan kongres besar NU. Pada awalnya NU mengharamkannya kemudian memberikan alternativo fatwa yaitu haram, halal dan subhat dan terakhir tanggal 22 Juli 1990, NU melalui Abdurrahman Wahid sebagai PB NU telah menghalalkannya. Fatwa NU ini lalu diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo (sebagai PB Muhammadiyah). Alasan yang dikemukannya adalah karena fatwa tersebut diputuskan melalui perdebatan para ulama yang dikenal telah mendalami masalah-masalah hukum Islam. Majelis Ulama Indonésia, melalui KH Hasan Basri, menyambut baik keputusan NU ini. Menurut beliau, keputusan tersebut dikeluarkan atas dasar musyawarah para ulama yang memahami hukum Islam. Fatwa ini menimbulkan reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan ulama dan intelektual Muçulmano. Dari kubu yang tidak setuju, muncullah pernyataan dari Dekan Fakultas Syariah IAIN Jacarta, Dr Peunoh Daly. Ia berkata bahwa bank yang dibentuk por NU maupun Muhammadiyah seharusnya banco yang Islami, bukan bank yang hanya menjadi alat untuk pemerataan riba. Beliau menandaskan bahwa sampai sekarang belumlah ada banco yang bersifat Islami di Indonesia. Ia merasa heran mengapa sistem muamalah yang telah diatur oleh Islam, yaitu sistem muamalah mudlarabah, qiradh dan salam itu tidak dihidupkan. 8220Akibatnya, umat Islam terjerat ke dalam sistema banco yang mengandung riba8221, celanya. Di kalangan NU sendiri, ternyata ada suara yang tidak puas atas fatwa ini. Kalangan fungsionaris Syuriah PB NU, misalnya, menilai bahwa fatwa tersebut tidak sejalan dengan garis kebijakan mereka. Sebab, menurut mereka, NU seharusnya membentuk bank muamalah mudlarabah (berdagang bersama yang saling menguntungkan), bukan bank umum yang lebih cenderung menganut sistem rente. Bagaimana silang pendapat di kalangan intelektual dan ulama modernis di negeri ini Sesuaikah pendapat mereka dengan ketentuan syara8217 Dapatkah pendapat mereka diterima Lebih jauh dari itu, apakah mereka boleh disebut mujtahid atau lebih baik disebut sebagai muqallid Pendapat Intelektual dan Ulama Modernis Di antara pekerjaan yang dikelola bank, Maka yang menjadi topik permasalahan dalam Fikih Islam adalah soal bunga (rente) banco. Sebab, secara umum tujuan usaha banco adalah untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan kredit. Bank memberikan kredit kepada orang luar dengan memungut bunga melalui pembayaran kredit (yang jumlahnya lebih besar dari besarnya kredit). Selisih pembayaran yang biasanya disebut bunga, itulah yang menjadi keuntungan usaha bank. Dalam masalah ini, para intelektual dan ulama modernis mempunyai pendapat yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mereka. Ada segolongan dari mereka yang mengharamkannya karena bunga banco tersebut dipandang sebagai riba. Tetapi segolongan lainnya menghalalkannya. Ke dalam kubu pertama (banco de yang mengharamkan bunga), tersebutlah Mahmud Abu Saud (Mantan Penasehat Bank, Paquistão), berpendapat bahwa segala bentuk rente (banco) yang terkenal dalam sistem perekonomian sekarang ini adalah riba. Lalu kita juga mendengar pendapat Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islã pada Fakultas Hukum Universitas Cairo yang memandang bahwa riba Nasi8217ah sudah jelas keharamannya dalam Al Qur-aan. Akan tetapi banyak orang yang tertarik kepada sistem perekonomian orang Yahudi yang saat ini menguasai perekonomian dunia. Mereka memandang bahwa sistem riba itu kini bersifat darurat yang tidak mungkin dapat dielakkan. Lantas mereka mena8217wilkan dan membahas makna riba. Padahal sudah jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang dilakukan oleh semua banco yang ada dewasa ini, dan tidak ada keraguan lagi tentang keharamannya. Buya Hamka secara sederhana memberikan batasan bahwa arti riba adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan lipat-ganda, atau tambahan 10 menjadi 11, atau tambahan 6 atau tambahan 10, dan sebagainya, tidak dapat tidak tentulah terhitung riba juga. Oleh karena itu, susahlah buat tidak mengatakan bahwa meminjam uang dari bank dengan rente sekian adalah riba. (Dengan demikian) menyimpan dengan bunga sekian (deposito) artinya makan riba juga. Ke dalam kubu kedua (banco de yang menghalalkan bunga), peminatnya kebanyakan berasal dari kalangan intelektual dan ulama modernis. Mereka memandang bahwa bunga banco yang berlaku sekarang ini dalam batas-batas yang wajar, tidaklah dapat dipandang haram. Tersebutlah A. Hasan, salah seorang pemuka Persatuan Islam (Persis), yang mengemukakan bahwa riba yang sudah tentu haramnya itu ialah yang sifatnya berganda e yang membawa (menyebabkan) ia berganda. Menurut beliau, riba yang sedikit dan yang tidak membawa kepada berganda, maka itu boleh. Ia menambahkan bahwa riba yang tidak haram adalah riba yang tidak mahal (besar) dan yang berupa pinjaman untuk tujuan berdagang, bertani, berusaha, pertukangan dan sebagainya, yakni yang bersifat produktif. Drs Syarbini Harahap berpendapat bahwa bunga konsumtif yang dipungut oleh banco tidaklah sama dengan riba. Karena, menurutnya, di sana tidak terdapat unsur penganiayaan. Adapun jika bunga konsumtif itu dipungut oleh lintah darat, maka ia dapat dipandang sebagai riba. Sebab, praktek tersebut memberikan kemungkinan adanya penganiayaan dan unsur pemerasan antarsesama warga masyarakat, mengingat bahwa lintah darat hanya mengejar keuntungan untuk dirinya sendiri. Adapun jika bunga tersebut dipungut dari orang yang meminjam untuk tujuan-tujuan yang produktif seperti untuk perniagaan, asalkan saja tidak ada dalam teknis pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan, maka tidaklah salah dan tidak ada keharaman padanya. Pernyataan Syarbini Harahap ini dalam perkembangan selanjutnya, ternyata sama nadanya dengan apa yang difatwakan NU via Abdurrahman wahid, atau lewat pernyataan Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Hatta, Kasman Singodimejo, dan lain-lain. Bertolak dari alasan bahwa transaksi kredit merupakan kegiatan perdagangan dengan uang sebagai komoditi, Dawan Rahardjo, mengatakan bahwa kalau transaksi kredit dilakukan dengan prinsip perdagangan (tijarah), maka hal tersebut dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya berlipat ganda dan diharamkan itu perlu digantikan dengan mekanisme perdagangan yang dihalalkan. Berbagai pendapat dan fatwa yang berani tersebut dalam upaya menghalalkan riba dalam bentuk bunga banco telah melibatkan jutaan kaum Muslimin ke dalam kegiatan perbankan. Walaupun demikian masih terdapat jutaan lainnya yang membenci praktek dan menjauhi dari memakan harta riba. Kebencian mereka terhadap praktek riba tersebut sama halnya dengan kebencian mereka memakan daging babi. Oleh karena itu masih banyak kalangan kaum Muslim yang tidak mau meminjam de menyimpan uang di bank karena takut terlibat riba, walaupun di kalangan kaum Muslim tidak banyak mengerti sejauh mana aspek hukum dan kegiatan perbankan, serta banyak pula di antara mereka yang bingung terhadap hukum yang sebenarnya Banco de tentang riba (bunga). Itulah fakta tentang keadaan umat Islam setelah umat ini diragukan dan dikaburkan pengertian mereka terhadap riba (bunga) banco. Bolehkah Kita Menghalalkan Riba Orang Islã yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba adalah dosa besar. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktek sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam sebuah Hadits lainnya disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda: 8220Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islã (setelah masuk Islam) 8221 (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik). Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi (QS Al Baqarah. 279). Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah viu wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir por Al Qur - Aan. Dalam, o seu parceiro não está em branco, mas não é o que é o que você quer? Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rangkaian ayat-ayat tersebut, Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, termasuklah di antaranya riba (bunga) banco: 8220Mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba padahal Allah telah menghalalkan jual beli Dan telah mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya (dipungut) pada waktu dulu (sebelum datangnya larang ini) dan urusannya (terserah) Allah. Sedangkan bagi orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang-orang tersebut adalah penghuni neraka mereka kekal di dalamnya8221 (QS Al Baqarah. 275). Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata: 8220Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya8221. Juga Al Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata: 8220Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang (trocadilho de dinheiro) adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan ancaman akan diperangi por Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang adil (Kepala Negara Islam), maka e Imam harus memberikan nasehat agar orang tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi8221. Apa sesungguhnya riba itu Secara global dapatlah disebutkan bahwa definisi riba adalah: 8220Tambahan yang terdapat dalam akad yang berasal dari salah satu pihak, baik dari segi (perolehan) uang, materibarang, dan atau waktu, tanpa ada usaha dari pihak yang menerima tambahan tersebut8221. Definição ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi8217ah, riba Al Qardh), maupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba banco yang mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi Deposito, jual-beli saham dan surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya banyak e dapat berkembang pada setiap masa. Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeda namun riba dapat mencakup banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam menurut keterangan Dari Hadits Rasulullah viu. Rasulullah viu melalui penglihatan ghaib yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui bahwa suatu saat nanti umat Islam akan menghalalkan riba dengan alasan perdagangan (bisnis), seperti yang tertera pada hadits pembuka tulisan ini. Lebih dari itu, beliau telah diberitahukan bahwa riba pada masa yang akan datang (misalnya zaman sekarang dan seterusnya) akan meliputi berbagai aktivitas bidang kehidupan ekonomi dan keuangan yang akhirnya akan melibatkan seluruh kaum Muslim. Sabda Rasulullah viu: 8220Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri82308221 (HR Ibnu Majah, hadits No.2275 dan Al Hakim, Jilid II halaman 37 dari Ibnu Mas8217ud, dengan sanad yang Shahih). Juga sabda Rasulullah viu: 8220Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba) nya8221 (HR Ibnu Majah, teve o No.2278 dan Sunan Abu Dawud, teve No.3331, Abu Hurairah). Semua dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surat Al Baqarah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis riba baik yang nyata maupun ter173sembunyi, sedikit persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif maupun produktif. Lafazh yang bersifat umum menurut kaidah Ushul Fiqih tidaklah boleh dibatasi dan disempitkan pengertiannya. Kaidah Ushul itu berbunyi: 8220Lafazh umum akan tetap bersifat umum selama tidak terdapat dalil (syar8217iy) yang mentakhsishkannya (yang mengecualikannya) 8221. Dalam hal ini tidak terdapat satu ayat maupun hadits yang menghalalkan sebagian dari bentuk dan jenis riba (misalnya riba produktif), dan atau hanya mengharamkan sebagian yang lainnya (misalnya riba yang berlipat ganda, konsumtif, riba lintah darat). Dengan demikian, telah jelas bagi kita bahwa semua bentuk dan jenis riba adalah haram dan tetap haram sampai Hari Kiamat. Oleh karena itu, atas dasar apa para intelektual dan ulama modernis sampai berani menghalalkan riba bunga bank Mereka telah berani membeda-bedakan halal-haramnya berdasarkan sifat konsumtif dan produktif, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya tidak pernah membeda-bedakan bentuk dan jenis riba. Tidak ada satupun illat (sebab ditetapkannya hukum) bagi keharaman riba. Apakah kaum intelektual dan ulama modernis ingin mengubah hukum Allah SWT dari haram menjadi halal hanya karena faktor kemaslahatan, semisal untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan atau karena pada masa sekarang kegiatan perbankan yang berlandaskan kepada aktivitas riba sudah merajalela dalam masyarakat kaum Muslim Barangkali kaum intelektual dan ulama modernis Tidak takut lagi kepada ancaman dan siksa dari Allah SWT: 8220Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang sudah mengabaikan (tak perduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat nanti ) 8221 (HR Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas Lihat Yusuf An Nabahani, Fath Al Kabir, Jilid I, halaman 132). Pendapat dan fatwa yang muncul dari kalangan intelektual dan ulama modernis sesungguhnya tidak pada tempatnya dan tidak pula memenuhi syarat bagi orang yang berwenang untuk berijtihad serta tidak layak disebut sebagai ulama mujtahid. Oleh karena itu mereka tidak berhak mengeluarkan fatwa, apalagi untuk mengubah hukum Alá SWT dan Rasul-Nya Umat Islão islâmico diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak berlandaskan kepada syariat Islam. Kita wajib menolaknya, bahkan wajib dadosgah setiap hukum yang berlandaskan kepada akal dan hawa nafsu. Sebab, manuscrito tidak berhak menentukan satu hukumpun. Ia harus tunduk kepada hukum Allah SWT e RasulNya semata. Bila kita menaati intelektual dan ulama modernis yang menghalalkan riba, maka itu sama artinya kita menjadikan mereka sebagai Tuhan yang disembah. Itulah yang pernah dikatakan por Rasulullah viu kepada 8216Adiy bin Hatim, ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT: 8220Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Alá, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Mariyam padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Satu: Tiada Tuhan kecuali Dia. Maha Suci (Allah SWT) dari yang mereka persekutukan8221 (QS At Taubah. 31). Kemudian Adiy bin Hatim berkata: 8220Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan Pendeta) itu8221. Rasulullah menjawab: 8220Sesungguhnya mereka telah menghalalkan apa yang telah dahulu diharamkan, mengharamkan apa yang telah dihalalkan, lalu kalian menaati mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap mereka8221 (HR Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir, d. 8216Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, Halaman 349). Apakah umat Islam ingin menjadikan ulama seperti di atas sebagai Tuhan sesembahan yang berhak menentukan halal dan haramnya sesuatu perbuatan Ya Allah, kami sudah menyampaikannya. Saksikanlah. Sumber: konsultasi. wordpress20070202apakah-bunga-bank-termasuk-riba-2 2 de fevereiro de 2007Riba Haram dalam Segala Keadaan, Benarkah Apakah setiap riba dalam bentuk apapun pasti diharamkan secara mutlak atas kedua belah pihak (pemberi piutangrentenir dan yang berhutang) Ataukah hanya diharamkan atas rentenir Saja, sedangkan yang berhutang terbebas Dan bila yang berhutang tidak berdosa, apakah hal ini hanya bila sedang membutuhkan kepada piutang saja, terjepit dan kemiskinan, ataukah kebutuhan tidak menjadi persyaratan bagi bolehnya berhutang dengan membayar riba Bila dibolehkan bagi orang yang membutuhkanterjepit, apakah bagi orang yang Kebutuhannya tidak terlalu mendesak boleh untuk berhutang dari bank yang bertransaksi dengan bungariba 15 setiap tahun misalnya-. Dengan demikian, i dapat berusaha dengan modal uang hutang tersebut, dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari bungariba yang ditetapkan, misalnya keuntungannya sebesar 50 setiap tahun. Dengan cara ini, berarti ia berhasil memperoleh hasil dari piutang tersebut sebesar 35 yang merupakan sisa keuntungan dikurangi bunga yang ditetapkan, sebagaimana pada kasus yang dicontohkan, ataukah riba tetap tidak boleh dengan cara apapun Pertama: Riba diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun. Diharamkan atas pemberi piutang dan juga atas orang yang berhutang darinya dengan memberikan bunga, baik yang berhutang itu adalah orang miskin atau orang kaya. Masing-masing dari keduanya menanggung dosa, bahkan keduanya dilaknati (dikutuk). Dan setiap orang yang ikut membantu keduanya, dari penulisnya, saksinya juga dilaknati. Berdasarkan keumuman ayat-ayat dan hadits - hadits shahih yang-nyata mengharamkan riba. Allah Taala berfirman,. : 275-276 Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan contra Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran ingkar, dan selalu berbuat dosa. (Qs. Al-Baqarah: 275-276). Sahabat Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu meriwayatkan Dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,. Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, syair (salah satu jenis gandum) dijual dengan syair, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. (HR. Muslim dalam kitabnya as-Shahih). Sahabat Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu menuturkan bahwasannya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,. Janganlah engkau jual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya. Janganlah engkau jual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya. Dan janganlah engkau jual sebagiannya yang diserahkan dengan kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan dengan kontan. (HR. al-Bukhary dan Muslim). Imam Ahmad dan al-Bukhary meriwayatkan, bahwasannya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, . Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, syair (salah satu jenis gandum) dijual dengan syair, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, harus sama dan sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba, pemungut dan yang memberikannya dalam hal ini sama. (HR. Muslim). Dan telah tetap dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu bahwasannya ia menuturkan, : ( ). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda, Mereka itu sama dalam hal dosanya. (HR. Muslim). Dan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang ini kedudukannya sama dengan emas dan perak yang berfungsi sebagai alat jual beli, oleh karena itu hukumnya adalah sama dengan hukum emas dan perak. Dengan sebab itulah, hendaknya setiap orang muslim untuk mencukupkan diri dengan hal-hal yang dihalalkan dan menjauhkan dirinya dari segala yang diharamkan Allah Azza wa Jalla. Dan Allah sungguh telah memberikan kelapangan kepada umat Islam dalam hal pekerjaan di dunia ini guna mengais rezeki. Sehingga, bisa saja orang yang fakir bekerja sebagai tenaga kerja (kuli) atau pelaku usaha dengan menggunakan modal orang lain dengan sistem mudharabah dengan perjanjian bagi hasil, misalnya fifty-fifty atau yang semisalnya dari keuntungan, dan bukan dari modal, tidak juga dengan jumlah nominal uang tertentu dari keuntungan. Dan barang siapa yang tidak mampu berusaha padahal ia fakir, maka halal baginya untuk meminta-minta, menerima zakat, dan juga jaminan sosial. Kedua: Tidak boleh bagi seorang muslim, baik kaya atau fakir untuk berhutang kepada bank atau lainnya dengan bunga 5 atau 15 atau lebih atau kurang dari itu. Karena itu adalah riba, dan termasuk dosa besar. Dan Allah telah mencukupkan baginya dengan jalan-jalan mengais rezeki yang dihalalkan sebagaimana disebutkan di atas, baik menjadi tenaga kerja di tempat orang yang memiliki pekerjaan atau mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri pada jabatan yang halal, atau berdagang dengan modal orang lain dengan sistem mudharabah dengan bagi hasil dalam persentase tertentu, sebagaimana dijelaskan di atas. Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Sumber: Majmu Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 13268-271, fatwa no. 3630 Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA. Artikel: PengusahaMuslim Dipublikasikan oleh: KonsultasiSyariahBUNGA BANK ADALAH RIBA Oleh. Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM Sabda Rasululullah SAW, Akan datang kepada umat ini suatu masa nanti ketika orang-orang menghalalkan riba dengan alasan: aspek perdagangan (HR Ibnu Bathah, dari Al Auzai). Pengantar Dalam kehidupan kaum Muslimin yang semakin sulit ini, memang ada yang tidak memperdulikan lagi masalah halal dan haramnya bunga bank. Bahkan ada pendapat yang terang-terangan menghalalkannya. Ini dikarenakan keterlibatan kaum Muslimin dalam sistem kehidupan Sekularisme-Kapitalisme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme. Bagi yang masih berpegang teguh kepada hukum Syariat Islam, maka berusaha agar kehidupannya berdiri di atas keadaan yang bersih dan halal. Namun karena umat pada masa sekarang adalah umat yang lemah, bodoh, dan tidak mampu membeda-bedakan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya, maka mereka saat ini menjadi golongan yang paling bingung, diombang-ambing oleh berbagai pendapat dan pemikiran. Dalam tulisan yang singkat ini, ada beberapa aspek yang ingin diketengahkan tentang seputar masalah riba : Pertama, bunga riba dalam tinjauan sejarah. Akan dijelaskan secara singkat peran Bani Israil dan tingkah laku mereka dalam masalah riba. Kedua, diketengahkan kelakuan orang-orang Yahudi dalam mengubah syariatnya sendiri (Hukum Allah SWT). Secara singkat akan dipaparkan peran kaum Yahudi dalam menghalalkan riba. Ketiga, masih dalam kerangka tingkah laku kaum Yahudi, diceritakan juga serba sedikit usaha-usaha mereka dalam membangun jaringan kehidupan dalam bidang ekonomi dan keuangan dunia, khususnya dalam bidang moneter dan perbankan. Keempat, mengetengahkan bagaimana bank pada awalnya berdiri, serta keterlibatan umat Islam Indonesia dalam masalah perbankan pada dekade awal abad XX sampai sekarang. Kelima, mengetengahkan usaha-usaha para tokoh masyarakat Islam (intelektual dan kaum modernis) dalam menghalalkan riba (bunga) bank. Keenam, mengetengahkan hukum riba yang tetap haram sampai Hari Kiamat. Riba dan Yahudi dalam Tinjauan Sejarah Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah abadi dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam syariat Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad saw. Tentang hal tersebut, Al Qur-aan telah mengabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk di dalamnya perbuatan memakan harta riba. Firman Allah SWT:.disebabkan oleh kezhaliman orang-orang Yahudi, maka Kami telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka dan (juga) karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah serta disebabkan mereka memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakannya, dan mereka memakan harta dengan jalan yang bathil (seperti memakan uang sogok, merampas harta orang yang lemah. Kemudian) Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih (QS An Nisaa. 160-161). Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala cara menghalangi manusia untuk tidak melaksanakan syariat Allah SWT. Mereka membunuh para nabi, berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja yang telah diharamkan Allah SWT, misalnya menghalalkan hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan adanya praktek sihir, menghalalkan riba sehingga terkenallah dari dahulu sampai sekarang bahwa antara Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya antara riba dengan gerak kehidupan kaum Yahudi, kita dapat mengetahuinya di dalam kitab suci mereka: Jikalau kamu memberikan pinjaman uang kepada umatku, yaitu kepada orang-orang miskin yang ada di antara kamu, maka janganlah kamu menjadikan baginya sebagai orang penagih hutang yang keras, dan janganlah mengambil bunga daripadanya (Keluaran, 22:25). Dalam kitab Imamat (orang Lewi), tersebut pula larangan yang senada. Pada kitab tersebut disebutkan agar orang-orang Yahudi tidak mengambil riba dari kalangan kaumnya sendiri: Maka jikalau saudaramu telah menjadi miskin dan tangannya gemetar besertamu . maka janganlah kamu mengambil daripadanya bunga dan laba yang terlalu (besar) jangan kamu memberikan uangmu kepadanya dengan memakai bunga .. (Imamat 35-37). Jelaslah di dalam ayat-ayat tersebut bahwa orang-orang Yahudi telah dilarang memakan riba (bunga). Namun dalam kenyataannya, mereka membangkang dan mengabaikan larangan tersebut. Mengapa mereka demikian berani melanggar ketentuan hukum Taurat itu Dalam hal ini, Buya Hamka (alm) mengutip dari buku Taurat pada kitab Ulangan pasal 23 ayat 20 : Maka dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba). Tetapi dari saudaramu, maka tidak boleh kamu mengambilnya supaya diberkahi Tuhan Allahmu, agar kamu dalam segala perkara tanganmu mampu memegang negeri, (seperti) yang kamu tuju (cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu) mengambilnya sebagai bagian dari harta pusakamu. Berdasarkan kutipan di atas, Buya Hamka menarik kesimpulan bahwa ayat tersebut telah menjadi pegangan kaum Yahudi sedunia sampai sekarang. Mereka, biarpun tidak duduk pada kursi pemerintahan di suatu negeri, tetapi merekalah yang justru menguasai pemerintahan negeri tersebut melalui bentuk pinjaman ribawi (membungakan uangnya) yang menjerat leher. Yahudi dan Penguasaan Moneter Internasional Dalam sebuah penggalan naskah Protokolat, yaitu berupa strategi jahat Yahudi, disebutkan bahwa kebangkrutan berbagai negara di bidang ekonomi adalah hasil kreasi gemilang mereka, misalnya dengan kredit (pinjaman) yang menjerat leher negara non-Yahudi yang makin lama makin terasa sakit. Mereka katakan bahwa bantuan luar negeri yang telah dilakukan boleh dikatakan laksana seonggok benalu yang mencerap habis segenap potensi perekonomian negara tersebut. Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil menguasai sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang perbankan. Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat keuangan di Wallstreet (New York). Tempat ini merupakan pangsa bursa (uang) terbesar di dunia. Sirkulasi keuangan di Amerika Serikat telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi sejak awal abad XX sampai sekarang. Di samping itu, mereka juga menguasai bidang-bidang industri (yang umumnya dibutuhkan oleh orang banyak), perdagangan internasional (dalam bentuk perusahaan-perusahaan raksasa), yang tersebar di seluruh Amerika, Eropa dan negeri-negeri di Asia dan Afrika. Sebagai misal, di Amerika, orang-orang Yahudi menguasai perusahaan General Electric, Fairstone, Standard Oil, Texas dan Mobil Oil. Dalam perdagangan valuta asing, maka setiap 10 orang broker, sembilan di antaranya adalah orang-orang yahudi. Di Perancis, sebagian saham yang tersebar di berbagai bidang kehidupan adalah milik orang-orang Yahudi. Dalam menghancurkan moral di suatu negeri, orang-orang Yahudi dan antek-anteknya ikut andil misalnya mengelola usaha Kasino, Nigth Club, atau perdagangan obat bius. Umat Islam Indonesia dan Perbankan Sistem perbankan telah muncul di dunia Islam sejak kedatangan penjajah Barat menyerbu ke berbagai negeri Islam. Di negeri-negeri jajahannya, mereka menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang bertumpu kepada sistem perbankan (riba). Di Indonesia muncul bank pertama, yaitu Bank Priyayi, tahun 1846 di Purwokerto, dengan pendirinya Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja dari kalangan keraton. Kemudian secara meluas di berbagai daerah, berdiri Bank Rakyat (Volksbank) antara lain di Garut (1898), Sumatera Barat (1899), dan Menado (1899). Dalam menanamkan sistem perbankan ini, penjajah Belanda mendirikan Sentral Kas, tahun 1912, yang berfungsi sebagai pusat keuangan. Dari kalangan intelektual, didirikanlah Indonesische Studie Club di Surabaya tahun 1929. Kemudian Belanda, dalam menyuburkan sistem riba, mendirikan Algemene Volkscredit Bank (AVB) tahun 1934. Pada tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah Belanda dari Indonesia, didirikanlah Yayasan Pusat Bank Indonesia tahun 1945, yang menjadi cikal bakal Bank Indonesia sekaligus memberikan rekomendasi pendirian bank-bank yang ada. Melalui PP No.1, tahun 1946, lahirlah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Kemudian jumlah bank semakin bertambah banyak. Di antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952), Bank Bumi Daya (BBD, 19 Agustus 1959). Bank Pembangunan Industri (BPI, 1960), Bank Dagang Negara (BDN, 2 April 1960), Bank Export-Import Indonesia (Bank Exim) yang dinasionalisasikan pada 30 Nopember 1960. Pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang, dunia perbankan tumbuh seperti jamur di musim hujan. Secara garis besar, dunia perbankan di Indonesia didominasi oleh bank-bank yang menjadi Badan Usaha Milik NegaraBUMN (misalnya BNI 1946, BRI, BDN) dan bank-bank milik swasta. Untuk yang pertama, jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi untuk yang kedua, ia terbagi ke dalam tiga kategori yaitu swasta asli Indonesia (misalnya Bank Susila Bakti, Bank Arta Pusara, Bank Umum Majapahit), swasta merger bank luar (misalnya Lippo Bank, BCA, Bank Summa), dan bank luar tulen (misalnya Chase Manhattan, Deutsche Bank, Hongkong Bank, Bank of America). Untuk melihat perkembangan perbankan di Indonesia, saat ini telah dibangun sejumlah 2652 bank (tidak termasuk BRI dan BRI Unit Desanya). Menurut standard Amerika ditilik dari jumlah penduduk Indonesia, maka negeri ini masih memerlukan 7800 bank lagi. Sistem Perbankan dan Organisasi Keagamaan Sebelum tahun 1990-an umat Islam Indonesia belum terlibat langsung. Sistem ini sejak dahulu hanya diminati oleh kalangan konglomerat. Namun sejak diadakan penandatangan kerja sama antara Bank Summa dengan Organisasi keagamaan NU tanggal 2 Juni 1990, maka umat Islam Indonesia telah mulai dilibatkan langsung dalam praktek perbankan. Dalam perjanjian kerjasama tersebut telah disepakati untuk didirikan sebanyak 2000 buah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia. Namun sebelumnya BPR telah berdiri tanggal 25 Februari 1990. BPR ini memberikan pinjaman kredit sebesar antara 100.000 sampai 500.000 rupiah dengan bunga 2,25 per bulan, untuk pengusaha pedagang kecil, petani, dan untuk umum kredit tersebut berkisar antara 25 sampai 200 juta rupiah. Rencana NU untuk mendirikan BPR sesungguhnya bukan masalah baru lagi. Ide itu telah ada dan dibahas berulang-ulang dalam berbagai kesempatan kongres besar NU. Pada awalnya NU mengharamkannya kemudian memberikan alternatif fatwa yaitu haram, halal dan subhat dan terakhir tanggal 22 Juli 1990, NU melalui Abdurrahman Wahid sebagai PB NU telah menghalalkannya. Fatwa NU ini lalu diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo (sebagai PB Muhammadiyah). Alasan yang dikemukannya adalah karena fatwa tersebut diputuskan melalui perdebatan para ulama yang dikenal telah mendalami masalah-masalah hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia, melalui KH Hasan Basri, menyambut baik keputusan NU ini. Menurut beliau, keputusan tersebut dikeluarkan atas dasar musyawarah para ulama yang memahami hukum Islam. Fatwa ini menimbulkan reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan ulama dan intelektual Muslim. Dari kubu yang tidak setuju, muncullah pernyataan dari Dekan Fakultas Syariah IAIN Jakarta, Dr Peunoh Daly. Ia berkata bahwa bank yang dibentuk oleh NU maupun Muhammadiyah seharusnya bank yang Islami, bukan bank yang hanya menjadi alat untuk pemerataan riba. Beliau menandaskan bahwa sampai sekarang belumlah ada bank yang bersifat Islami di Indonesia. Ia merasa heran mengapa sistem muamalah yang telah diatur oleh Islam, yaitu sistem muamalah mudlarabah, qiradh dan salam itu tidak dihidupkan. Akibatnya, umat Islam terjerat ke dalam sistem bank yang mengandung riba, celanya. Di kalangan NU sendiri, ternyata ada suara yang tidak puas atas fatwa ini. Kalangan fungsionaris Syuriah PB NU, misalnya, menilai bahwa fatwa tersebut tidak sejalan dengan garis kebijakan mereka. Sebab, menurut mereka, NU seharusnya membentuk bank muamalah mudlarabah (berdagang bersama yang saling menguntungkan), bukan bank umum yang lebih cenderung menganut sistem rente. Bagaimana silang pendapat di kalangan intelektual dan ulama modernis di negeri ini Sesuaikah pendapat mereka dengan ketentuan syara Dapatkah pendapat mereka diterima Lebih jauh dari itu, apakah mereka boleh disebut mujtahid atau lebih baik disebut sebagai muqallid Pendapat Intelektual dan Ulama Modernis Di antara pekerjaan yang dikelola bank, maka yang menjadi topik permasalahan dalam Fikih Islam adalah soal bunga (rente) bank. Sebab, secara umum tujuan usaha bank adalah untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan kredit. Bank memberikan kredit kepada orang luar dengan memungut bunga melalui pembayaran kredit (yang jumlahnya lebih besar dari besarnya kredit). Selisih pembayaran yang biasanya disebut bunga, itulah yang menjadi keuntungan usaha bank. Dalam masalah ini, para intelektual dan ulama modernis mempunyai pendapat yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mereka. Ada segolongan dari mereka yang mengharamkannya karena bunga bank tersebut dipandang sebagai riba. Tetapi segolongan lainnya menghalalkannya. Ke dalam kubu pertama (yang mengharamkan bunga bank), tersebutlah Mahmud Abu Saud (Mantan Penasehat Bank Pakistan), berpendapat bahwa segala bentuk rente (bank) yang terkenal dalam sistem perekonomian sekarang ini adalah riba. Lalu kita juga mendengar pendapat Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Cairo yang memandang bahwa riba Nasiah sudah jelas keharamannya dalam Al Qur-aan. Akan tetapi banyak orang yang tertarik kepada sistem perekonomian orang Yahudi yang saat ini menguasai perekonomian dunia. Mereka memandang bahwa sistem riba itu kini bersifat darurat yang tidak mungkin dapat dielakkan. Lantas mereka menawilkan dan membahas makna riba. Padahal sudah jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang dilakukan oleh semua bank yang ada dewasa ini, dan tidak ada keraguan lagi tentang keharamannya. Buya Hamka secara sederhana memberikan batasan bahwa arti riba adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan lipat-ganda, atau tambahan 10 menjadi 11, atau tambahan 6 atau tambahan 10, dan sebagainya, tidak dapat tidak tentulah terhitung riba juga. Oleh karena itu, susahlah buat tidak mengatakan bahwa meminjam uang dari bank dengan rente sekian adalah riba. (Dengan demikian) menyimpan dengan bunga sekian (deposito) artinya makan riba juga. Ke dalam kubu kedua (yang menghalalkan bunga bank), peminatnya kebanyakan berasal dari kalangan intelektual dan ulama modernis. Mereka memandang bahwa bunga bank yang berlaku sekarang ini dalam batas-batas yang wajar, tidaklah dapat dipandang haram. Tersebutlah A. Hasan, salah seorang pemuka Persatuan Islam (Persis), yang mengemukakan bahwa riba yang sudah tentu haramnya itu ialah yang sifatnya berganda dan yang membawa (menyebabkan) ia berganda. Menurut beliau, riba yang sedikit dan yang tidak membawa kepada berganda, maka itu boleh. Ia menambahkan bahwa riba yang tidak haram adalah riba yang tidak mahal (besar) dan yang berupa pinjaman untuk tujuan berdagang, bertani, berusaha, pertukangan dan sebagainya, yakni yang bersifat produktif. Drs Syarbini Harahap berpendapat bahwa bunga konsumtif yang dipungut oleh bank tidaklah sama dengan riba. Karena, menurutnya, di sana tidak terdapat unsur penganiayaan. Adapun jika bunga konsumtif itu dipungut oleh lintah darat, maka ia dapat dipandang sebagai riba. Sebab, praktek tersebut memberikan kemungkinan adanya penganiayaan dan unsur pemerasan antarsesama warga masyarakat, mengingat bahwa lintah darat hanya mengejar keuntungan untuk dirinya sendiri. Adapun jika bunga tersebut dipungut dari orang yang meminjam untuk tujuan-tujuan yang produktif seperti untuk perniagaan, asalkan saja tidak ada dalam teknis pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan, maka tidaklah salah dan tidak ada keharaman padanya. Pernyataan Syarbini Harahap ini dalam perkembangan selanjutnya, ternyata sama nadanya dengan apa yang difatwakan NU via Abdurrahman wahid, atau lewat pernyataan Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Hatta, Kasman Singodimejo, dan lain-lain. Bertolak dari alasan bahwa transaksi kredit merupakan kegiatan perdagangan dengan uang sebagai komoditi, Dawan Rahardjo, mengatakan bahwa kalau transaksi kredit dilakukan dengan prinsip perdagangan (tijarah), maka hal tersebut dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya berlipat ganda dan diharamkan itu perlu digantikan dengan mekanisme perdagangan yang dihalalkan. Berbagai pendapat dan fatwa yang berani tersebut dalam upaya menghalalkan riba dalam bentuk bunga bank telah melibatkan jutaan kaum Muslimin ke dalam kegiatan perbankan. Walaupun demikian masih terdapat jutaan lainnya yang membenci praktek dan menjauhi dari memakan harta riba. Kebencian mereka terhadap praktek riba tersebut sama halnya dengan kebencian mereka memakan daging babi. Oleh karena itu masih banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak mau meminjam dan menyimpan uang di bank karena takut terlibat riba, walaupun di kalangan kaum Muslimin tidak banyak mengerti sejauh mana aspek hukum dan kegiatan perbankan, serta banyak pula di antara mereka yang bingung terhadap hukum yang sebenarnya tentang riba (bunga) bank. Itulah fakta tentang keadaan umat Islam setelah umat ini diragukan dan dikaburkan pengertian mereka terhadap riba (bunga) bank. Bolehkah Kita Menghalalkan Riba Orang Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba adalah dosa besar. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktek sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam sebuah Hadits lainnya disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda : Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam) (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik). Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi (QS Al Baqarah. 279). Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir dari Al Qur-aan. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa riba, baik kecil maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rangkaian ayat-ayat tersebut, Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, termasuklah di antaranya riba (bunga) bank: Mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya (dipungut) pada waktu dulu (sebelum datangnya larang ini) dan urusannya (terserah) Allah. Sedangkan bagi orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang-orang tersebut adalah penghuni neraka mereka kekal di dalamnya (QS Al Baqarah. 275). Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata: Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya. Juga Al Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata: Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang (money changer) adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang adil (Kepala Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasehat agar orang tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi. Apa sesungguhnya riba itu Secara global dapatlah disebutkan bahwa definisi riba adalah : Tambahan yang terdapat dalam akad yang berasal dari salah satu pihak, baik dari segi (perolehan) uang, materibarang, dan atau waktu, tanpa ada usaha dari pihak yang menerima tambahan tersebut. Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasiah, riba Al Qardh), maupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya banyak dan dapat berkembang pada setiap masa. Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeda namun riba dapat mencakup banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam menurut keterangan dari Hadits Rasulullah saw. Rasulullah saw melalui penglihatan ghaib yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui bahwa suatu saat nanti umat Islam akan menghalalkan riba dengan alasan perdagangan (bisnis), seperti yang tertera pada hadits pembuka tulisan ini. Lebih dari itu, beliau telah diberitahukan bahwa riba pada masa yang akan datang (misalnya zaman sekarang dan seterusnya) akan meliputi berbagai aktivitas bidang kehidupan ekonomi dan keuangan yang akhirnya akan melibatkan seluruh kaum Muslimin. Sabda Rasulullah saw: Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri (HR Ibnu Majah, hadits No.2275 dan Al Hakim, Jilid II halaman 37 dari Ibnu Masud, dengan sanad yang shahih). Juga sabda Rasulullah saw: Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331 dari Abu Hurairah). Semua dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surat Al Baqarah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis riba baik yang nyata maupun tersembunyi, sedikit persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif maupun produktif. Lafazh yang bersifat umum menurut kaidah Ushul Fiqih tidaklah boleh dibatasi dan disempitkan pengertiannya. Kaidah Ushul itu berbunyi: Lafazh umum akan tetap bersifat umum selama tidak terdapat dalil (syariy) yang mentakhsishkannya (yang mengecualikannya). Dalam hal ini tidak terdapat satu ayat maupun hadits yang menghalalkan sebagian dari bentuk dan jenis riba (misalnya riba produktif), dan atau hanya mengharamkan sebagian yang lainnya (misalnya riba yang berlipat ganda, konsumtif, riba lintah darat). Dengan demikian, telah jelas bagi kita bahwa semua bentuk dan jenis riba adalah haram dan tetap haram sampai Hari Kiamat. Oleh karena itu, atas dasar apa para intelektual dan ulama modernis sampai berani menghalalkan riba bunga bank Mereka telah berani membeda-bedakan halal-haramnya berdasarkan sifat konsumtif dan produktif, padahal Allah SWT dan Rasul-Nya tidak pernah membeda-bedakan bentuk dan jenis riba. Tidak ada satupun illat (sebab ditetapkannya hukum) bagi keharaman riba. Apakah kaum intelektual dan ulama modernis ingin mengubah hukum Allah SWT dari haram menjadi halal hanya karena faktor kemaslahatan, semisal untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan atau karena pada masa sekarang kegiatan perbankan yang berlandaskan kepada aktivitas riba sudah merajalela dalam masyarakat kaum Muslimin Barangkali kaum intelektual dan ulama modernis tidak takut lagi kepada ancaman dan siksa dari Allah SWT: Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang sudah mengabaikan (tak perduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat nanti) (HR Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas Lihat Yusuf An Nabahani, Fath Al Kabir, Jilid I, halaman 132). Pendapat dan fatwa yang muncul dari kalangan intelektual dan ulama modernis sesungguhnya tidak pada tempatnya dan tidak pula memenuhi syarat bagi orang yang berwenang untuk berijtihad serta tidak layak disebut sebagai ulama mujtahid. Oleh karena itu mereka tidak berhak mengeluarkan fatwa, apalagi untuk mengubah hukum Allah SWT dan Rasul-Nya Umat Islam diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak berlandaskan kepada syariat Islam. Kita wajib menolaknya, bahkan wajib dicegah setiap hukum yang berlandaskan kepada akal dan hawa nafsu. Sebab, manusia tidak berhak menentukan satu hukumpun. Ia harus tunduk kepada hukum Allah SWT dan RasulNya semata. Bila kita menaati intelektual dan ulama modernis yang menghalalkan riba, maka itu sama artinya kita menjadikan mereka sebagai Tuhan yang disembah. Itulah yang pernah dikatakan oleh Rasulullah saw kepada Adiy bin Hatim, ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT: Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Mariyam padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Satu: Tiada Tuhan kecuali Dia. Maha Suci (Allah SWT) dari yang mereka persekutukan (QS At Taubah. 31). Kemudian Adiy bin Hatim berkata : Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan Pendeta) itu. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya mereka telah menghalalkan apa yang telah dahulu diharamkan, mengharamkan apa yang telah dihalalkan, lalu kalian menaati mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap mereka (HR Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir, dari Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 349). Apakah umat Islam ingin menjadikan ulama seperti di atas sebagai Tuhan sesembahan yang berhak menentukan halal dan haramnya sesuatu perbuatan Ya Allah, kami sudah menyampaikannya. Saksikanlah. faridm

No comments:

Post a Comment